Ketika Paus Urban II menyerukan Perang salib di tahun 1095 untuk merebut kota suci Yerusalem dari kaum Muslim, mungkin sama sekali tak terbayang betapa rangkaian peristiwa tragis itu akan menorehkan luka yang begitu perih dan pengaruh kuat yang begitu luas.
Kaum Kristen Eropa mula-mula memang kurang begitu mengenal kaum Muslim. Tapi di akhir kisah, di antara pihak kaum Muslim, kaum Kristen dan bahkan juga kaum Yahudi yang kemudian juga terlibat konflik itu, terbentuklah perasaan benci dan anggapan bahwa kelompok lain itu sosok jahat, iblis, musuh Tuhan yang patut di laknat dan dimusnahkan.
Antologi kebencian dan dendam ini terus mengendap. Menggumpal dan mewujud dalam berbagai konflik dan perang suci yang masih berlangsung hingga kini.
Titik mula dan kelanjutannya memang bisa bermotif religius atau sekuler, tapi akhirnya semua motif individual itu bercampur-aduk dan semakin memperteguh kekentalan konflik tersebut.
Armstrong lewat bukunya "Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World" yang edisi Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Serambi dengan judul "Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk" melakukan penelusuran atas detail kisah Perang Salib, akar pemicunya baik dari segi sejarah maupun doktrinal, dan juga pengaruh Perang Salib dalam perkembangan peradaban dunia.
Pemaparannya yang begitu tangkas, cermat, mendalam, menyeluruh, obyektif dan menyentuh perasaan, membuat buku ini tidak saja akan dapat mampu mengupas tuntas kronologi historis perang-perang-suci yang bersifat obyektif, tapi juga berhasil memberi semacam pendekatan subyektif dengan menyapa sisi kemanusiaan kita semua.
Buku ini bukan hanya penuh informasi sejarah yang mengesankan, tapi juga amat penting karena memberikan seruan dan dasar-dasar pemahaman baru mengenai konflik tiga agama saat ini. Analisis-analisis Karen Armstrong atas sejarah tumbuhnya pola kekerasan dan perang suci itu juga penting, sebuah kerangka sekuler-humanitarian yang mengarah pada ajakan untuk merubah bingkai pemahaman kita atas konflik agama selama ini.
Walau pijakannya sekuler namun kaum relijius pun dapt mengambil manfaat yang besar dari analisa-analisa tersebut.
Buku ini adalah upaya untuk meredakan bara nafsu yang mengurung cara pandang umat beragama dalam teologi dendam dan kekerasan, menyambung kembali roh epistemologi ajaran-ajaran agama yang rindu akan kesejukan dan kasih sayang, mengundang kembali nalar dan nurani yang telah dicampakkan di antara reruntuhan perang dan di sekujur tubuh peradaban.
|